Penyalahgunaan obat
secara sekilas bukan merupakan penyakit tetapi merupakan penyakit yang
berkaitan dengan psikis dan fisik. Dalam
penggunaan obat sehari-hari, terdapat istilah penyalahgunaan obat (drug
abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Penyalahgunaan
Obat adalah suatu keadaan di mana
obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu.
Sedangkan, Pengguna-salahan Obat adalah merujuk pada penggunaan obat
secara tidak tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna memang
tidak tahu bagaimana penggunaan obat yang benar.
Penyalahgunaan obat sering terjadi dan obat yang disalahgunakan
bukan hanya cocain, atau heroin, namun juga obat-obat yang
biasa diresepkan. Penyalahgunaan obat ini terkait dengan masalah toleransi,
adiksi atau ketagihan, yang selanjutnya bisa berkembang menjadi ketergantungan
obat (drug dependence). Pengguna umumnya sadar bahwa mereka melakukan
kesalahan, namun mereka sudah tidak dapat menghindarkan diri.
Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan
obat:
a. Seseorang
awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll, yang
memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan obat secara legal dengan resep
dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut menyebabkan toleransi, di
mana pasien memerlukan dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang
sama. Mereka kemudian akan meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa
berkonsultasi dengan dokter. Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala putus
obat jika pengobatan dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau
ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga mereka berusaha untuk
memperoleh obat-obat tersebut dengan segala cara.
b. Seseorang
memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan rekreasional. Artinya,
sejak awal penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk
memperoleh efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat diperoleh dari obat
tersebut. Kejadian ini umumnya berkaitan dengan penyalahgunaan senyawa lain,
termasuk yang bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol,
dll.
c. Seseorang
menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang telah
disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti
saja apa yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan
toleransi dan ketagihan. Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu
lama yang menyebabkan ketergantungan.
2. Penyalahgunaanobat Dekstrometorfan
Salah satu jenis obat yang sering disalahgunakan adalah
Dextromethorphan (DMP),
di mana Dekstrometorfan (DMP)
adalah suatu obat penekan batuk (anti tusif) yang dapat diperoleh secara bebas,
dan banyak dijumpai pada sediaan obat batuk maupun flu. Di pasaran, obat ini
tersedia dalam bentuk sirup dan pil yang dikenal dengan nama pil dekstro. Kemasan DMP dapat berupa tablet,
kapsul, powder, atau sirup. Nama pasaran
untuk DMP banyak, di antaranya Candy, Robo, Rojo, Red Baron, Triple Cs,
"Sldttles", Drex, DM, Red Devils, Tussin. atau Vitamin D. Para
penggunanya kadang-kadang menamakannya syrup heads. Bila DMP dikonsumsi dalam
jumlah banyak akan menimbulkan efek dissociative halusinogen, sama dengan efek
ketamine atau phency-clidine (halusinogen).
Penyalahgunaan
DMP sering terjadi. Penyebabnya, selain murah, obat ini juga relatif mudah
didapat. Bentuk penyalahgunaannya antara lain adalah konsumsi dalam dosis besar
(berpuluh-puluh butir) atau mengkonsumsinya bersama alkohol atau narkoba.
Dosis Dekstrometorfan (DMP) pada orang dewasa adalah 15-30 mg,
diminum 3-4 kali sehari. Efek anti batuknya bisa bertahan 5-6 jam setelah
penggunaan per-oral. Jika digunakan sesuai aturan, jarang menimbulkan efek
samping yang berarti. Desktrometorfan adalah sejenis senyawa opiat,namun lemah.
Sebagian literatur memang menyebutnya demikian. Secara kimia, DMP (D-3-methoxy-N-methyl-morphinan)
adalah suatu dekstro isomer dari levomethorphan, suatu derivat morfin
semisintetik. Walaupun strukturnya mirip narkotik, DMP tidak beraksi pada
reseptor opiat sub tipe mu (seperti halnya morfin atau heroin),
tetapi ia beraksi pada reseptor opiat subtipe sigma, sehingga
efek ketergantungannya relatif kecil. Pada dosis besar, efek farmakologi DMP
menyerupai PCP atau ketamin yang merupakan antagonis reseptor
NMDA. DMP sering disalahgunakan karena pada dosis besar ia menyebabkan
efek euforia dan halusinasi penglihatan maupun pendengaran.
Intoksikasi atau overdosis DMP dapat menyebabkan hiper-eksitabilitas,
kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus).
Apalagi jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya
dan dapat menyebabkan kematian.
Farmakodinamik
Dekstrometorfan
a. Efek
analgetik
Efek analgetik
dekstrometorfan berdasarkan cara kerja sebagai antagonis reseptor NMDA. Peranan
NMDA dalam fenomena persepsi nyeri ditegaskan lagi pada binatang percobaan
yaitu dengan cara memberikan reseptor antagonis NMDA secara intraspinal. Pada
suatu studi pada manusia pemberian ketamin intravena akan mengurangi
hiperalgesia primer dan sekunder dan mengurangi nyeri yang ditimbulkan oleh
stimulasi panas. Dektrometorfan menunjukkan hal yang sama (Ilkjaer et al.,
1996). Ikatan obat-obat antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan terjadinya
perubahan pada calsium channel. Perubahan pada ca-channel akan
menyebabkan aktivitas neuron yang dirangsang NMDA, jika itu menetap, akan
diikuti dengan peningkatan intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya
fenomena wind-up dan pencetusan dari nyeri sekunder. Dekstrometorfan
mempunyai kemampuan untuk mengurangi influks ion Ca2+melalui channel
reseptor NMDA dan mengatur channel voltase Ca yang pada keadaan normal diatur
oleh konsentrasi K+ ekstrasel yang tinggi (Weinbroum et al., 2000).
Dengan berkurangnya influks ion Ca+, maka eksitabilitas neuron di
kornudorsalis medula spinalis menurun, sehingga sensitisasi menurun dan terjadi
pengurangan nyeri. Pada penelitian dekstrometorfan sebagai efek analgetik, obat
tersebut memberikan hasil yang cukup baik, yaitu dapat mengurangi intensitas
nyeri sebanyak 33,4% dibanding pada pemberian memantin maupun lorazepam, dimana
masing-masing hanya mengurangi nyeri sebanyak 17,4% dan 16,1%. Hal ini
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara pemberian ketiga obat tersebut
(Christine et al.,2002)
b. Sebagai
antitusif
Empat puluh tahun yang
lalu dekstrometorfan dibuat sebagai obat alternatif dari morfin.Pada awalnya
pemakaian klinis terbatas pada obat antitusif, pada orang dewasa dosisnya
adalah 10 – 30 mg, 3 – 6 kali sehari.Tempat spesifik sentral dimana
dekstrometorfan mempunyai efek antitusif belum jelas, tetapi dekstrometorfan
berbeda dengan golongan opioid, sehingga efek dekstrometorfan tidak ditekan
oleh nalokson. Dekstrometorfan juga mempunyai catatan keamanan yang baik,
sebagai contoh dosis terapetik untuk batuk 1 mg/kg /hr tidak mempunyai side
efek yang berarti, dan tidak menimbulkan komplikasi akibat pelepasan histamin
(Weinbroum et al., 2000)
c. Efek
anti kejang dan Parkinson
Pada manusia dekstrometorfan juga mampu mengurangi
keluhan yang berhubungan dengan gangguan neurologis oleh karena eksitotoksisitas,
seperti kejang dan penyakit parkinson jika diberikan pada dosis 30 atau 60 mg
(Albers et al., 1987) yang diberikan 4 kali sehari, 45 – 180 mg single
dose (Bonuccelli et al., 1992) atau 120 mg single dose (Fisher
et al., 1990) selama 3 minggu sampai 3 bulan. Tidak didapati adanya efek
samping neurologis yang berat pada penelitian ini dan juga pada penelitian lain
dengan sampel 8 orang yang sehat dimana eksitabilitas korteks motorik
berkurang setelah pemberian secara oral dengan dosis tinggi (150 mg) (Ziemann et
al., 1998). Pada suatu penelitian double blind plasebo control pada
pasien dengan penyakit parkinson, eksitabilitas korteks motorik dan
diskinesia oleh karena levodopa berkurang dengan pemberian dekstrometorfan pada
dosis 100 mg dengan efek samping yang minimal (Verbagen Metman et al., 1998).
dan sekarang di tarik
BalasHapushttp://www.farmasi.asia/penarikan-obat-mengandung-dekstrometorfan-dextromethorphan-tunggal/
terima kasih buat update infonya :)
Hapus